Feeds:
Pos
Komentar

Tanpa Kata

Bisa kurasakan kehadirannya dalam diam. Menyelinap perlahan lalu mencumbui pikiran-pikiranku dengan mesra.

“Aku mohon, jangan lakukan itu.” pintaku dengan setengah berbisik.

“Aku menyukaimu. Terlebih kehadiranmu. Tapi, tidak untuk malam ini. Untuk malam ini, aku mohon, tinggalkkan aku sendiri.” aku melanjutkan ucapanku. Ku dengar sedikit nada memelas di dalam kalimatku.

Ia terhenti sesaat, menatapku dalam diam. Menghadirkan jeda yang menyakitkan diantara kami. Seolah tak mengerti, ia justru merangkulku semakin erat. Menenggelamkan diriku ke dalam pelukannya. Kurasakan kedua pipiku basah oleh air mata.

“Maaf. Aku jadi menangis.” bisikku perlahan.

Samar-samar kulihat ia tersenyum. Samar dan, ya, tanpa kata.

KIRA menatap bayangan dirinya di cermin untuk yang kesekian kalinya. Sempurna! Malam ini adalah malam natal. Ia membuka pintu kamarnya (https://trisnadewanti.wordpress.com/) dan cepat-cepat menuruni tangga. Ia terkejut. Rupanya semua orang telah berkumpul. Paman Capp, Bibi Tess, sepupu Frank, dan tetangga-tetangga lainnya. Ia melihat ayahnya berbincang-bincang dengan Charli, mantan penjaga istal kuda istana, di sudut ruangan, persis disebelah kiri perapian. Kira berjalan menuju dapur. Aroma kalkun dan kue gandum yang baru saja dibakar menggelitik hidungnya. Gelas-gelas berisi anggur dan toples-toples berisi aneka kue kering tersusun rapih di meja makan. Ia mengambil segelas. “Halo.” Seseorang menyapanya. Dia Frank, sepupunya yang tinggal beberapa blok dari rumahnya. “Halo, Frank.” Kira tersenyum, (https://trisnadewanti.wordpress.com/) menyesap anggurnya sedikit. “Bagaimana Taff?” Kira angkat bahu, “Entahlah. Aku belum mendengar kabar apapun darinya sejak tiga tahun yang lalu.” Frank menepuk pundaknya, “Taff seorang pemain pedang yang terampil. Ia pasti baik-baik saja.” Kira menatap sepupunya dan mengangguk, “Tuhan melindunginya.”

Seorang lelaki berwajah tegas (https://trisnadewanti.wordpress.com/) menghampiri mereka dari ruang utama. Tubuhnya sedikit lebih tinggi dari mereka, “Halo, Kira.” Dia Greg, teman Frank. “Halo,” Kira mengangkat gelas anggurnya dan menegak isinya sampai habis. “Kau terlihat agak kurus. Apa akhir-akhir ini kau kehilangan selera makanmu?” Kira tertawa, “Tentu tidak.” Greg balas tertawa, “Lalu?” Kira tersenyum dan berputar perlahan. Gaunnya yang lebar mengembang sedikit. Greg tertawa, “Kau yang membuat ini?” Kira mengangguk cepat, “Bagaimana menurutmu?” Greg tersenyum, memamerkan deretan giginya yang rapi, “Bagus sekali. Cocok untukmu.” Kira merasakan wajahnya memerah. “Oh, baiklah! Hatiku sungguh tersentuh. Haruskah aku pergi meninggalkan kalian berdua disini?” tiba-tiba Frank bersuara, sedikit kesal. Greg merangkulnya, “Oh, Frank. Maaf aku tidak menyadari keberadaanmu.” Frank memutar kedua bola matanya dan menghela napas, “Hentikan, Greg! Tingkahmu membuatku ingin muntah.” Kira (https://trisnadewanti.wordpress.com/) tertawa. “Dan berhenti menggoda sepupuku,” lanjut Frank, senyum mengembang di wajahnya. “Baiklah, kalian lanjutkan pembicaraan kalian. Aku akan menyapa tamu-tamu lainnya.” Kira meletakkan gelasnya yang sudah kosong dan mengambil gelas kedua.

“Kau tahu, Margareth! Dorothy baru saja kehilangan putranya.”

Kira tak sengaja mendengar percakapan dua orang wanita yang berdiri di ujung meja makan. Perlahan  ia berjalan sedikit kearah mereka. “Maksudmu Braggio? Putra Dorothy yang bekerja di istana?” wanita yang bernama Margareth (https://trisnadewanti.wordpress.com/) terlihat terkejut. Kedua matanya membelalak dan suaranya agak melengking. “Shh…pelankan suaramu. Belum banyak orang yang tahu akan hal ini.” Kira maju satu langkah dan menajamkan pendengarannya. “Apa yang terjadi padanya?” Wanita yang satu lagi menggeleng, “Tiga hari yang lalu prajurit kerajaan mendatangi rumahnya. Tidak ada yang tahu apa penyebabnya. Kudengar hal ini berkaitan dengan perapal mantra kegelapan.” Kira menahan nafasnya. (https://trisnadewanti.wordpress.com/) “Tidak mungkin! Pihak istana telah menangkap dan membunuh para perapal mantra sejak berpuluh-puluh tahun yang lalu.” Wanita itu angkat bahu, “Itu hanya spekulasi.” “Apa kau tahu bagaimana kondisi jenazahnya?” Margareth merendahkan suaranya. Wanita itu berbisik. Kira semakin menajamkan pendengarannya. “Sungguh mengerikan. Wajah dan tubuhnya hitam, hampir sulit untuk dikenali. Jantungnya hancur dan tubuhnya keriput, seolah-olah sesuatu telah menghisap darahnya sampai habis. Satu-satunya penanda adalah kalung yang tergantung di lehernya, simbol pegawai dapur istana.” Kira menahan nafasnya. Tengkuknya meremang.

Malam sudah hampir larut dan orang-orang hendak pulang ke rumah mereka masing-masing ketika sebuah ketukan di pintu depan memaksa mereka untuk tinggal. Kira meletakkan (https://trisnadewanti.wordpress.com/) gelasnya yang masih utuh di atas meja dan berjalan ke ruang utama, tak jauh dari pintu. Empat orang. Mereka mengenakan tunik berwarna merah kecoklatan dan rompi biru bersulam benang keemasan. Kancing-kancingnya dari perak dan sebuah rantai perak terkait diantaranya. Sebuah pedang bergagang perak terselip di masing-masing pinggang mereka. Simbol kerajaan (https://trisnadewanti.wordpress.com/) terukir dalam di gagangnya. Mereka adalah prajurit kerajaan, gumam Kira. Ia merasakan firasat buruk. Sangat buruk.

“Kami datang sebagai utusan dari kerajaan Gillia.” Seorang lelaki bertubuh paling kekar menunjukkan medalinya. Simbol kerajaan Gillia (https://trisnadewanti.wordpress.com/) terukir dalam diatasnya. Semua orang terdiam. Suara derak kayu terdengar jelas dari perapian. Ia berdehem memecah keheningan, lalu melanjutkan kalimatnya, “Kami membawa kabar tentang Taff.” Kira merasakan detak jantungnya semakin cepat. Carlos maju ke depan, “Saya ayahnya. Apa yang terjadi dengan Taff?” Hening sesaat. “Taff menghilang saat pertempuran melawan para pemberontak beberapa bulan yang lalu. Kami kehilangan jejaknya sampai kami menemukan medalinya di sisi barat daya kota Gillia dua hari yang lalu.” Seorang prajurit yang lain maju, (https://trisnadewanti.wordpress.com/) merogoh kantungnya, dan menyerahkan sebuah medali kepada Carlos. Kira dan Ibunya mendekat. Medali itu simbol prajurit kerajaan. Bentuknya bulat sempurna dan terbuat dari perak. Simbol kerajaan Gillia terukir indah di permukaan atasnya. Carlos membalik permukaan medali. Nama Taff terukir disitu. “Taff sudah meninggal.” Semua orang terdiam, tak terkecuali Kira. Carlos memeluk bahu istrinya, Rosalia, yang kini terisak. Malam ini akan menjadi malam natal yang tidak terlupakan bagi siapapun.

Ketika itu, pertengahan bulan Desember, tepat  tiga hari sebelum natal. Udara mulai dingin, namun belum bersalju. Penduduk di desa Gorock mulai bersiap-siap merayakan natal di rumah (https://trisnadewanti.wordpress.com) mereka masing-masing. Beberapa pria terlihat sibuk menyeret ujung pohon cemara yang baru saja mereka tebang di halaman, sementara para wanita cenderung berada di dalam rumah. Menjahit baju-baju lama, membakar kue-kue kering, ataupun membersihkan perapian untuk persiapan musim dingin yang hampir tiba. Tak terkecuali ibunya, Rosalia, yang kini tengah sibuk diantara tumpukan-tumpukan kuali tanah liat berisi kalkun-kalkun yang telah dibumbui dan kue-kue jahe yang siap dibakar. Samar-samar terdengar denting logam-logam beradu dari arah gudang, sedikit ke arah timur laut dari rumahnya. Ayahnya, Carlos, satu-satunya (https://trisnadewanti.wordpress.com) pembuat senjata di desa ini. Keahliannya dalam menempa besi-besi panas telah diakui oleh para penduduk di desa ini. Hampir semua penduduk desa Gorock memilikinya di rumah-rumah mereka, walaupun hanya sekedar untuk berjaga-jaga dari serangan para babi hutan di musim panen.

Kira menghela napas, meletakkan buku yang baru saja dibacanya di atas meja kayu lebar di depan perapian. Api menjilat kayu-kayu bakar hingga merah dan membara (https://trisnadewanti.wordpress.com). Sesekali terdengar derak halus dari dalam perapian, memuntahkan serpihan-serpihan kayu yang mengabu ke udara. Ia mengambil pengungkit disamping perapian, mengayunkankannya ke udara seolah-olah pedang yang haus darah. Gelombang rasa kecewa memaksanya untuk meletakkannya kembali, persis di posisi semula. Ia hanyalah seorang wanita yang nasibnya telah ditentukan sejak alam semesta pertama kali diciptakan. Memasak hingga kuku-kuku menghitam akibat jelaga, mengurus anak-anak kecil (https://trisnadewanti.wordpress.com) yang tak pernah berhenti menangis, serta menjahit lubang di baju-baju yang kian lusuh akibat sering dicuci. Sungguh membosankan. “Aku ingin menjadi seorang prajurit!”, Kira kembali mengambil pengungkit di samping perapian, membiarkan dirinya hanyut dalam fantasi medan perang antar kerajaan yang haus kekuasaan, bergerak maju, memutar, dan..

PRANG

Kira terkejut sesaat, kemudian menghela napas lega. Sebuah bola kristal menggelinding ke sudut ruangan, masih utuh, persis di balik (https://trisnadewanti.wordpress.com) pot besar berisi cemara kecil yang baru saja dihias kemarin. Kira berjongkok, menyelipkan salah satu tangannya, dan mengambilnya. Benda ini milik kakaknya, Taff. Ia adalah kebanggaan keluarganya dan desanya. Satu-satunya penduduk desa Gorock yang berhasil menjadi prajurit kerajaan Gillia. Kira sangat mengagguminya sejak kecil, terutama permainan pedangnya yang luar biasa. Rasanya (https://trisnadewanti.wordpress.com) sudah lama sekali mereka tidak saling bertemu sejak tugas pertamanya di ibukota, tepat tiga tahun yang lalu. Kira menghela napas dan meletakkan bola kristal tepat di tempat semula, tak terkecuali pengungkit di tangan kirinya.

Kira membuka pintu, memaksa udara dingin bulan Desember berhembus ke dalam dan menerpa wajahnya yang pucat. Ia mengambil mantelnya (https://trisnadewanti.wordpress.com) yang tergantung asal-asalan dibalik pintu, memasang sepatu boot, menyelipkan sepasang kaus tangan yang sudah setengah kumal, dan berjalan keluar. Ia menatap puncak pegunungan Torr yang memutih. Tepat dibaliknya, ibukota kerajaan Gillia terhampar luas. Hampir separuh rakyat Gillia bermukim disana, (https://trisnadewanti.wordpress.com) termasuk Taff. Kira menyarungkan kedua tangannya di kantung mantelnya. Saat itu senja terlihat mulai menggelayut di sisi barat, memancarkan cahaya berwarna merah keemasan. Ia ingin berjalan-jalan sedikit.

Ia mulai menyusuri jalan setapak berliku hingga ke alun-alun. Kira menarik tangan kanannya dari kantung mantelnya. Beberapa uang logam beradu di dalam kepalan tangannya. Terbayang olehnya rasa gect, minuman dari campuran (https://trisnadewanti.wordpress.com) akar-akar kayu girys dan toćhr, di bulan Desember. Manis dan hangat. Kira hampir sampai di alun-alun ketika sebuah jeritan samar mengusik dirinya. Ia terdiam, mencoba mencari sumber suara yang baru didengarnya. Agak jauh dari tempatnya berdiri, sebuah rumah bata yang temboknya tidak di-cat berdiri tegak. Sebuah pohon natal kecil mengintip dari balik jendela yang memancarkan cahaya terang kekuningan. Instingnya mengatakan (https://trisnadewanti.wordpress.com) bahwa ada sesuatu yang tidak beres. Ia memandang sekeliling. Cemara! Pilihan yang hebat. Kira buru-buru sembunyi, menyandarkan tubuhnya, memejamkan kedua matanya, dan perlahan-lahan menurunkan penghalang yang mengelilingi benaknya.

Kira merasakan sakit di bagian atas kepalanya. Puluhan, bahkan ribuan suara berjejal-jejal di ujung telinganya. Sepertinya ia (https://trisnadewanti.wordpress.com) terlalu banyak menggunakan kekuatannya. Ia berkonsentrasi, berusaha sekuat tenaga untuk memilah suara-suara yang membombardir indra pendengarnya. Sejak kecil, Kira memiliki kemampuan untuk mendengar suara sehalus apapun dalam radius puluhan meter. Aliran sungai Joreé di kaki pegunungan Torr, hiruk pikuk para penyabung ayam di alun-alun, bahkan denyut tumbuhan tempatnya bersandar. Walaupun demikian, ia masih kesulitan untuk mengendalikannya. Tidak ada yang tahu akan hal ini selain dirinya. Ia menghela napas (https://trisnadewanti.wordpress.com). Agak sedikit lelah, namun sudah mulai terdengar. Lima orang pria dan tiga orang wanita.

TIDAK MUNGKIN!

Suara seorang pria terdengar sangat marah, bercampur dengan isak tangis dua orang wanita setengah baya dan seorang anak perempuan. “Kami sungguh menyesal harus mengantar kepulangan putra anda dalam kondisi seperti ini.” Suaranya agak (https://trisnadewanti.wordpress.com) lebih berat sedikit dari yang sebelumnya. Seketika isak tangis kembali memenuhi kedua telinganya. “Apa yang terjadi?” Kali ini suara seorang wanita. “Tidak ada yang tahu. Jenazahnya sudah seperti ini saat pertama kali ditemukan oleh penduduk setempat.” Kira mendengarkan dengan seksama. “Makhluk apa yang telah menyebabkan kematian anak kami?” tanya wanita yang sama. “Kami tidak ingin berspekulasi, namun ada desas-desus bahwa kaum perapal mantra kegelapan telah bangkit. Hening sesaat (https://trisnadewanti.wordpress.com). Kira merasakan tengkuknya meremang. Mendadak ia menyadari sesuatu yang aneh telah terjadi. Keheningan ini terlalu dibuat-buat. Ia buru-buru melindungi benaknya, membiarkan suara-suara itu menjauh, dan melangkah cepat-cepat sambil berharap salju segera turun untuk menghapus jejaknya. Ia mengambil jalan memutar ke rumahnya, sedikit lebih jauh dari biasanya. Kaum perapal mantra kegelapan, ia menggumam. Sesuatu telah terjadi di Gillia.

One: The Book

Malam itu, kilatan cahaya kuning pucat membelah keheningan hutan pinus di sebelah barat daya kota Gillia, persis di kaki pegunungan Torr. Seorang lelaki berjubah hitam turun dari kudanya. Tubuhnya besar dan tegap, kepalanya bertudung, dan separuh wajahnya tertutup topeng keemasan. Sebuah pedang besar bermata ruby terselip di pinggangnya. Di depannya, seorang lelaki bertunik hijau tua meringkuk kesakitan. Tubuh dan wajahnya ramping. Ujung telinganya yang runcing mencuat sedikit disela-sela rambutnya yang hitam. Ia seorang elf. Lelaki itu berpegangan, berusaha berdiri, energinya terkuras akibat serangan yang tadi. Ia menggapai pedangnya. Celaka, sarung pedangnya kosong! Seulas senyum kemenangan terukir dalam di wajah si lelaki bertudung.

Ia sudah benar-benar berdiri sekarang. Wajahnya mengeras, waspada, namun tidak menghapus sisa-sisa keanggunan yang melekat secara alami pada dirinya. Ia menaikkan dagunya yang runcing, menantang, “Kami tidak akan pernah memberikan buku itu kepada siapapun.” Senyum lelaki bertudung itu menghilang, “Elf sialan! Serahkan atau kau akan kubunuh disini.” Ia tertawa, “Memang apa yang bisa dilakukan oleh seorang perapal mantra rendahan sepertimu padaku?” Lelaki bertudung itu spontan mengangkat tangan kanannya, tepat ke arah lelaki bertunik, telapak tangannya berpendar kekuningan. “Sombong sekali kau, Elf! Mudah sekali bagiku untuk membunuhmu saat ini juga. Aku tahu buku itu ada di balik tunikmu!” Seketika kilatan cahaya kuning pucat melesat cepat, membelah keheningan hutan pinus yang kini berkabut. Lelaki bertunik itu jatuh. Ia menghampirinya dan merobek tuniknya. Buku itu ada disana. Persis seperti perkiraannya. Ia pun tertawa.